BAB III
SOSIOLOGI PENGARANG, KARYA SASTRA,
DAN PEMBACA
A.
Pengantar
Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut di atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature (1994:109-133). Sosiologi
pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah
yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial,
status pengarang, dan ideologi pengarang
yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain
yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar
sosial, perubahan dan perkembangan sosial.
Dengan fokus agak berbeda, Ian Watt (via
Damono, 1979), juga merumuskan wilayah kajian sosiologi sastra yang
berorientasi pada pengarang, yaitu pada
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca.
B. Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang dapat dimaknai sebagai
salah satu kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian pada pengarang
sebagai pencipta karya sastra. Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai
pencipta karya sastra dianggap merupakan makhluk sosial yang keberadaannya
terikat oleh status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya,
posisinya dalam masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca.
Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan
penulis sangat menentukan. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra
ditentukan oleh pikiran penulisnya (Caute, via Junus, 1986:8). Realitas yang
digambarkan dalam karya sastra sering kali bukanlah realitas apa
adanya, tetapi realitas seperti yang diedialkan pengarang. Dalam
penelitian Junus (1986:8-9) mengenai novel-novel Indonesia, seperti Belenggu dan Telegram, ditemukan bahwa kedua novel tersebut telah
mencampuradukkan antara imajinasi dengan realitas. Oleh karena itu,pemahaman
terhadap karya sastra melalui sosiologi pengarang membutuhkan data dan
interpretasi sejumlah hal yang berhubungan dengan pengarang.
Dari yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta Watt, di atas, maka wilayah yang menjadi
kajian sosiologi pengarang antara lain adalah:
- status sosial pengarang,
- ideologi sosial pengarang,
- latar belakang sosial budaya pengarang,
- posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
- masyarakat pembaca yang dituju,
6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra)
7. profesionalisme dalam
kepengarangan.
1. Status sosial pengarang
Status sosial sering kali disebut sebagai
kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Status
dengan status sosial sering diartikan sendiri-sendiri. Status diartikan sebagai
tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain dalam arti lingkungan
pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya. Namun supaya mudah, Soerjono
Soekanto (1970:239) menganggap keduanya memiliki arti yang sama yaitu status
saja. Status pada dasarnya golongkan menjadi dua hal, yaitu ascribed
status, achieved status, dan assigned status. Ascribed status adalah kedudukan
seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh
karena kelahiran,misalnya anak seorang bangsawan maka sampai besar ia akan
dianggap bangsawan pula. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang
tertutup,misalnya masyarakat feodal atau masyarakat dimana sistem lapisan
tergantung pada perbedaan rasial. Namun tidak hanya pada sistem masyarakat tertutup saja, pada masyarakat
dengan sistem sosial terbuka juga ada. Misalnya, kedudukan laki-laki pada suatu
keluarga, kedudukannya berbeda dengan kedudukan istri dan anak-anaknya.
Achieved status, yaitu kedudukan yang diperoleh
seseorang dengan cara diperjuangkan, dan usaha usaha yang disengaja oleh
individu itu sendiri. Kedudukan ini bersifat terbuka untuk siapa saja
tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar, serta mencapai
tujuan-tujuannya. Misalnya, untuk menjadi seorang anggota legislatif dibutuhkan
syarat-syarat tertentu. Apabila ada seseorang yang ingin menjadi anggota legislatif
maka ia harus memenuhi syarat tersebut. Jika terpilih nantinya maka kedudukanya
dalam masyarakat akan berubah.
Assigned status, yaitu kedudukan yang diperoleh
seseorang karena pemberian sebagai penghargaan jasa dari kelompok tertentu.
Biasanya orang yang telah diberikan status tersebut memiliki jasa karena
memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Contohnya, pemberian nobel kepada orang yang berhasil memperjuangkan
kepentingan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan kajian status
sosial pengarang di Indonesia, hal-hal yang berkaitan dengan ascribed status, achieved status, dan assigned
status perlu diperhatikan. Hal
ini karena dalam kasus pengarang tertentu, status sosialnya tidak terlepas dari
ketiga tipe status sosial tersebut. Sastrawan Budi Darma, misalnya dari ascribed statusnya berasal dari keluarga
menengah, namun setelah dewasa achieved
statusnya membawanya sebagai seorang guru besar ilmu sastra dan pernah menjabat
sebagai rektor di IKIP (Unesa) Surabaya. Selanjutnya sebagai seorang sastrawan
dia pernah mendapatkan berbagai penghargaan untuk karya sastra yang pernah
ditulisnya. Status sosialnya tersebut akan berpengaruh terhadap sejumlah karya
yang diciptakannya, seperti Olenka, Ny
Talis, Orang-orang Bloomington, dan cerpen-cerpenya.
2. Ideologi Sosial Pengarang
Ideologi memiliki
pengertian sebagai himpunan
dari nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang
atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian
atau problem yang mereka hadapi. Dalam kaitannya dengan kajian sastra, pengertian ideologi ini seringkali
disamakan dengan pandangan dunia (wold vieuw) yaitu kompleks yang
menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang
menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan
mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainya (Goldmann, 1977:17). Karena
ideologi ini dimiliki oleh suatu kelompok sosial, maka sering disebut juga
sebagai ideologi sosial.
Dalam pandangan
sosiologi pengarang, ideologi sosial yang dianut seorang pengarang akan
mempengaruhi bagaimana dia memahami dan mengevaluasi masalah sosial yang
terjadi di sekitarnya. Pengarang berideologi sosial humanisme seperti Mochtar Lubis, misalnya akan memandang
masalah sosial politik Indonesia masa Orde Lama sebagai keadaan yang
mengakibatkan penderitaan rakyat, terutama akibat kondisi ekonomi dan
stabilitas sosial politik yang memburuk. Hal itu cukup jelas terefleksi dalam
novel Mochtar Lubis yang berjudul Senja
di Jakarta.
3. Latar Belakang Sosial Budaya
Latar
belakang sosial budaya pengarang adalah masyarakat dan kondisi sosial budaya
dari mana pengarang dilahirkan, tinggal, dan berkarya. Latar belakang tersebut,
secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki hubungan dengan karya
sastra yang dihasilkannya. Sebagai manusia dan makhuk sosial, pengarang akan
dibentuk oleh masyarakatnya. Dia akan belajar dari apa yang ada di sekitarnya.
Hubungan
antara sastrawan, latar belakang sosial budaya, dan karya sastra yang
ditulisnya misalnya tampak pada karya-karya Umar Kayam, seperti Para Priyayi dan Jalan Menikung. Umar Kayam, sebagai sastrawan yang berasal dari
masyarakat dan budaya Jawa priyayi, mengekspresikan kejawaanya dalam
karya-karyanya tersebut. Dalam novel tersebut digambarkan bagaimana para tokoh
yang hidup dalam masyarakat dengan konteks budaya Jawa menghayati dirinya
sebagai manusia yang tidak terlepas dari persoalan stratifikasi sosial
masyarakat Jawa yang mengenai golongan priyayi dan wong cilik, yang berpengaruh
dalam tata sosial dan pergaulan dalam masyarakat. Di samping itu juga bebet,
bobot, bibit dalam hubungannya dengan kasus perkawinan.
4. Posisi Sosial Sastrawan
dalam Masyarakat
Posisi
sosial sastrawan berkaitan dengan kedudukan dan peran sosial seorang sastrawan
dalam masyarakat. Di samping sebagai sastrawan, bagaimanakah kedudukan sosial
dan perannya dalam masyarakat? Apakah seorang sastrawan itu, orang yang
memiliki kedudukan dan peran sosial cukup penting? Beberapa contoh dalam sastra Indonesia, dapat ditemukan
seorang sastrawan yang mimiliki kedudukan dan peran sosial yang penting,
misalnya Budi Darma (pengarang Olenka, Ny
Talis, Orang-orang Blomington, Derabat, Kritikus Adinan) di samping seorang
sastrawan juga seorang akademisi, guru besar di Universitas Negeri Surabaya.
Demikian juga Y.B. Mangunwijaya (almarhum) (pengarang Burung-burung Manyar, Trilogi Rara Mendut, juga Rumah Bambu) di samping seorang
sastrawan, juga seorang pastor, ilmuwan dan arsitek, yang gagasan-gagasannya
mengenai menusia dan budaya Indonesia dianggap penting oleh masyarakat dan
komunitasnya. Posisi dan kedudukan sastrawan yang cukup penting dalam
masyarakat, di samping memiliki pengaruh terhadap isi karya sastranya, juga
memiliki pengaruh terhadap keberterimaan karya-karya yang dihasilkannya bagi
masyarakat.
5. Masyarakat Pembaca yang Dituju
Sebagai
anggota masyarakat, dalam menulis karya sastranya sastrawan tidak dapat
mengabaikan masyarakat pembaca yang dituju. Agar karyanya dapat diterima masyarakat,
maka sastrawan harus mempertimbangkan isi dan bahasa yang dipakai. Memang dalam
berkarya sastrawan tidak tergantung sepenuhnya
atau menuruti secara pasif selera pelindung (patron) atau publiknya, tetapi ada kemngkinan justru sastrawanlah yang menciptakan
publiknya (Wellek dan Warren, 1994). Sering kali, bahkan seorang pengarang telah menentukan
siapakah calon pembaca yang dituju. Novel Para
Priyayi ditulis Umar Kayam untuk ditujukan kepada pembaca yang sedikit
banyak memiliki bekal pengetahuan budaya Jawa karena dalam novel tersebut cukup
banyak ditemukan ungkapan, kosa kata, dan butir-butir budaya Jawa yang melekat
pada tokoh-tokoh dan latar masyarakat yang digambarkannya. Demikian juga, novel
Kitab Omong Kosong karya Sena Gumira
Ajidarma ditulis untuk masyarakat yang sedikit banyak memiliki pengetahuan yang
berhubungan dengan wayang, khususnya Ramayana
karena di dalamnya ada kerangka cerita dan tokoh-tokoh wayang.
Dalam
hubungannya dengan masyarakat, Wellek dan Warren (1994) juga menjelaskan bahwa
sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakatnya. Seni (sastra) dalam hal
ini tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Pemberian nama anak
dalam masyarakat Jawa, misalnya banyak mengambil inspirasi dari nama
tokoh-tokoh wayang atau dongeng, seperti Yudhistira, Bima, Harjuna, Sadewa,
Nakula, Larasati, Shakuntala, Kresna, Panji, Candrakirana menunjukkan adanya
pengaruh sastra bagi kegidupan nyata.
6. Mata Pencaharian Pengarang dan Profesionalisme Pengarang
Tidak
semua sastrawan bermata pencaharian dari aktivitas menulis semata-mata. Dalam
hubungannya dengan hal ini, Watt (via Damono, 1979:3) mengemukakan bagaimana seorang pengarang mendapatkan mata
pencahariannya? Apakah dia mendapatkannya dari pengayom (patron), atau dari
masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap?
Beberapa
kasus di Indonesia, seorang sastrawan memiliki kerja rangkap. Sena Gumira
Ajidarma, misalnya di samping sastrawan juga seorang dosen di Institut Kesenian
Jakarta dan Universitas Indonesia, Goenawan Mohamad, di samping sastrawan juga
seorang jurnalis (Pemred Majalah Tempo);
Budi Darma, di samping seorang sastrawan, juga seorang Guru Besar Sastra
Inggris di Universitas Negri Surabaya; Sapardi Djoko Damono, di samping seorang
kritikus dan penyair, juga seorang Guru Besar Sastra di Universitas Indonesia.
Di samping merekan masih dapat ditambah beberapa nama sastrawan yang memiliki
pekerjaan rangkap.
Sebagai
orang yang memiliki pekerjaan rangkap, maka sudah pasti mereka mendapatkan
penghasilan bukan semata-mata dari profesinya sebagai sastrawan. Bahkan boleh
jadi, penghasilan utamanya bukanlah dari profesinya sebagai sastrawan, tetapi
dari pekerjaan lainnya.
Pekerjaan
rangkap bagi seorang sastrawan menyebabkan masalah profesionalisme dalam
kepengarangan. Sejauh mana seorang sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai
suatu profesi. Apakah dia menganggap pekerjaannya sebagai sastrawan sebagai profesinya
utamanya, ataukah sebagai profesi sambilan. Dalam hal ini perlu dilakukan
kajian secara empiris terhadap sejumlah sastrawan Indonesia. Di samping itu,
pekerjaan rangkap yang dipilih seorang sastrawan juga memiliki pengaruh
terhadap karya sastra yang diciptakannya, seperti sudah diuraikan dalam masalah
status dan kedudukan pengarang dalam masyarakat.
Karena wilayah kajian sosiologi pengarang
cukup luas, maka untuk menerapkan kajian sosiologi pengarang, diawali
menentukan masalah yang akan dikaji,
salah satu masalah (misalnya status sosial) atau beberapa masalah sekaligus (ideologi
sosial, latar belakang sosial budaya, dan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat). Tentukan pula, siapa pengarang yang akan dikaji (misalnya Ayu
Utami atau Pramudya Ananta Toer). Setelah itu, kumpulkan data dan informasi yang
berkaitan dengan masalah yang dipilih.
Data primer maupun sekunder dapat
dikumpulkan untuk kajian sosiologi
pengarang. Untuk pengarang yang masih hidup dan mungkin terjangkau, data primer
dapat diperoleh. Namun, untuk pengarang yang sudah menginggal, atau dari masa
lampau, data tersebut tidak dapat diperoleh, sehingga cukup data sekunder.
Analisis data yang telah dikumpulkan. Interpretasikan keterkaitan antara data
mengenai pengarang dengan karya sastranya.
7. Dua Tradisi Kepengarangan di Indonesia: Kajian
Sosiologi Pengarang oleh Jakob Sumardjo
Jakob
Sumardjo, (Segi Sosiologis Novel
Indonesia Bab 5, 1981) telah
melakukan kajian terhadap tradisi kepengarangan di Indonesia. Dalam penelitian
tersebut terungkap bahwa dunia kepengarangan di Indonesia, dapat dikatakan dilahirkan
dari dua dunia, yaitu dunia kewartawanan dan dunia keguruan. Di samping itu, ditemukan dunia kedokteran dan kepegawaian umumnya (Sumardjo,
1981:34).
Beradasarkan
penelitian yang dilakukan Sumardjo (1981:34) sampai awal 1980-an ditemukan bahwa sebelum perang (maksudnya perang dunia
kedua) terdapat 14 orang pengarang yang jabatannya wartawan, 10 orang dari
jabatan guru. Sesudah perang jumlahnya meningkat. Pengarang yang berasal dari
wartawan ada 31 orang, sementara pengarang yang berasal dari kalangan guru dan
dosen ada 22 orang.
Data
yang berkaitan dengan dunia kepengarangan dan profesionalisme kepengarangan,
serta profesi rangkap tersebut menunjukkan bahwa pengarang Indonesia sebagian
besar hidup dari kewartawanan, baik sebagai redaktur suatu koran atau majalah,
atau sebagai wartawan lapangan. Menurut Sumardjo (1981:35) kenyataan ini tidak
mengherankan karena asal mulanya timbul kesusastraan modern di Indonesia,
memang disebabkan oleh munculnya persuratkabaran. Sekitar tahun 1850 di
Indonesia (Hindia Belanda) telah terbit koran-koran dengan bahasa Melayu yang
dikelola oleh orang-orang Belanda atau Cina, dan orang-orang Melayu sendiri.
Dari lingkungan itulah, sekitar tahun 1890-an muncul roman-roman pertama dalam
bahasa Melayu pasaran yang ditulis oleh orang-orang Belanda semacam Wiggers atau
Kokkers dan orang-orang Cina seperti Lie Kim Hok. Lantas sekitar tahun 1990-an, muncul nama-nama Indonesia
asli yang menulis roman, seperti Haji Mukti (menulis Hikayat Siti Mariyah), R.M. Tirtoadisuryo (menulis Busono dan Ny Permana), serta Mas Marco Kartodikromo (menulis Rasa Medeka dan Student
Hijo). Mereka adalah para wartawan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh
para wartawan Indonesia seperti Adinegoro, Semaun, Abdul Muis, Armijn Pane,
Matu Mona, Mochtar Lubis, Satyagraha Hoerip, Iwan Simaputang, sampai Putu
Wijaya.
Di kalangan guru dan dosen, kegiatan
kepengarangan menurut Sumardjo (1981:35)
baru dimulai pada tahun 1908, dengan didirikannya komisi bacaan rakyat oleh
pemerintah kolonial yang kemudian bernama Balai Pustaka (1917). Beberapa pengarang
Indonesia yang berkarya melalui penerbit ini antara lain Muhamad Kasim, Suman
HS, Aman Dt. Madjoindo, Selasih, Nur St. Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, yang
semuanya berprofesi guru pada waktu itu. Tradisi ini dilanjutkan oleh A.A.
Navis, Ali Audah, Wildan Yatim, Kuntowijoyo, Budi Darma, dan Umar Kayam.
Menurut penelitian Sumardjo (1981) ada
perbedaan karakteristik antara karya yang ditulis oleh dua tradisi tersebut.
Roman dari kalangan wartawan, pada awal perembangannya, meskipun ditulis dengan
menggunakan bahasa Melayu pasar, namun persoalan yang mereka garap lebih serius
yaitu persoalan sosial politik penduduk jajahan. Sastra mereka gunakan sebagai
alat untuk mengekepresikan kegundahan politik mereka. Roman-roman mereka keras
dan galak terhadap sistem penjajahan dan diwarnai oleh pertentangan keras ini
menunjukkan adanya kesadaran bahwa sastra bukan sekedar hiburan, tetapi juga
suatu bentuk mengemukakan permasalahan sosial politik bangsa. Sementara itu,
roman karya para guru lebih bersifat didaktis dan kolot. Yang mereka persoalkan
adalah nasib buruk kaum perempuan akibat kolotnya orang tua, seperti tampak
pada Sitti Nurbaya, Jeumpa Aceh, dan Kasih Tak Terlerai. Roman-roman ini
cenderung sentimentil dengan kerangka plot yang dipasang sedemikian rupa
sehingga jalan cerita menjurus kepada memeras air mata para pembacanya Sumardjo
(1981:37). Profesi guru yang mengharuskan mereka bersikap konvensional dan hati-hati
menurut Sumardjo (1981:38) kurang
menunjukkan karya-karya yang berani, Sebagai guru dan dosen, para pengarang
tersebut harus menjaga diri sebagai benteng budaya mapan. Oleh karena itu,
pembaharuan-pembaharuan dalam kesusastraan kita jarang keluar dari lingkungan
guru, tetapi dari lingkungan wartawan. Roman-roman Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Armijn Pane
jelas merupakan tonggak-tonggak karya pembaharuan dan mereka adalah para
wartawan.
C. Sosiologi Karya Sastra
1. Batasan Sosiologi Karya
Sastra
Sosiologi
karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat. Sosiologi
sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai
tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah
pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren,
1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra
sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat
dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali
realitas yang terdapat dalam masyarakat.
2. Wilayah Kajian Sosiologi Karya Sastra
Beberapa
masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah: isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang
berkaitan dengan masalah sosial. Di
samping itu, sosiologi karya sastra juga mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat, sastra
sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu
masyarakat pada masa tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas (Harry Levin).
Isi
karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial, dalam hal ini sering kali
dipandang sebagai dokumen sosial, atau sebagai potret kenyataan sosial (Wellek
dan Warren, 1994). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thomas Warton (via
Wellek dan Warren, 1994) terhadap sastra Inggris, dibuktikan bahwa sastra
mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Sastra menurut Warton, mampu
menjadi gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah
bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.
Sebagai
dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial.
Namun, menurut Wellek dan Warren (1994)
harus dipahami bagaimana protret
kenyataan sosial yang muncul dari
karya sastra? Apakah karya itu
dimaksudkah sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire,
karikatur, atau idealisme Romantik?
Dalam
hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (1988:228) menjelaskan
bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap kenyataan, tetapi sekaligus
juga model kenyataan. Bukan hanya satra yang meniru kenyataan, tetapi sering
kali juga terjadi sebuah norma keindahan yang diakui masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya seni, yang
kemudian dipakai sebagai tolok ukur untuk menyataan.
Kajian
sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra
sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya
yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa
mempersoalkan struktur karya sastra. Oleh karena itu, menurut Junus (1986:3-5),
sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya
ditandai oleh: (1) unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas dari
hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan
dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke
dalam dirinya. (2) Pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu,
misalnya tentang perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern, dan
lain-lain, dalam suatu karya sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin
dilihat dalam perspektif perkembangan. (3) Pendekatan ini dapat mengambil motif atau tema yang terdapat dalam karya
sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan ini ada kecenderungan melihat
hubungan langsung (one-to one-cerrespondence) antara unsur karya sastra dengan unsur dalam
masyarakat yang digambarkan dalam karya itu (Swingewood, via Junus, 1986:7). Oleh
karena itu, pengumpulan dan analisis data bergerak dari unsur karya sastra ke
unsur dalam masyarakat, dan menginterpretasikan hubungan antara keduanya. Analisis
hendaknya mempertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren:
apakah karya itu dimaksudkah sebagai
gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisme
Romantik?
3. Perlawanan terhadap Budaya Patriarki dalam Konteks Indonesia dalam
Novel Saman: Telaah Sosiologi Karya
Sastra
Berikut ini diuraikan contoh telaah
sosiologi karya sastra terhadap novel Saman
karya Ayu Utami. Fokus kajian adalah isi novel yang dianggap sebagai pencerminan atas realitas sosial yang terjadi
dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1980-1990-an.
Pada tahun 1998 dunia sastra Indonesia
digemparkan oleh munculnya novel Saman
karya Ayu Utami, yang oleh dewan juri yang terdiri dari Sapardi Djoko Damono,
Faruk, dan Ignas Kleden dijadikan sebagai novel terbaik dalam sayembara
penulisan novel 1998 Dewan Kesenian Jakarta. Berbagai pujian pun dilontarkan
oleh para pembaca terhadap novel tersebut. Damono mengatakan bahwa Saman memamerkan teknik komposisi yang
sepanjang pengetahuannya belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia,
bahkan mungkin di negeri lain. Sementara itu, Faruk mengatakan bahwa di dalam
sejarah sastra Indonesia tak ada novel yang sekaya ini, yang lebih kaya
daripada Para Priyayi-nya Umar Kayam.
Ignas Kleden pun mengatakan
bahwa kata-kata dalam Saman bercahaya
seperti kristal.
Selain
kemenarikan seperti yang diuraikan oleh para dewan juri, ada hal lain yang
menarik dari novel itu, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
novel-novel sebelumnya, terutama dalam menggambarkan persoalan yang berkaitan
dengan sosok wanita. Novel tersebut, yang ditulis oleh seorang wanita yang
usianya relatif masih muda (27 tahun ketika novel itu ditulis), menggambarkan
cara berpikir, bersikap, dan impian-impian perempuan dengan cara pengungkapan
yang dapat dikatakan sangat terbuka, jujur, dan tanpa tedheng aling-aling.
Meskipun novel tersebut berjudul Saman, yang mengacu pada tokoh pria
dalam novel tersebut, namun sebagian besar cerita menggambarkan kisah dan
kehidupan empat orang tokoh perempuan muda, yaitu Laila (yang pada masa
remajanya pernah tergila-gila pada Saman), Shakuntala, Cok, dan Yasmin. Awal
cerita novel itu bahkan menceritakan Laila yang sedang mabuk kepayang dan
menunggu Sihar (pria beristri janda yang kemudian menjadi pacarnya) di sebuah
taman (Central Park) di New York. Selanjutnya, cerita disusul dengan flasback awal mula perkenalan Laila
dengan Sihar setelah sebuah kecelakaan terjadi di sebuah proyek pengeboran
minyak lepas pantai, yang kemudian membawa Laila dan teman-temanya berhubungan
dengan Saman, yang waktu itu masih bernama Wisanggeni dengan profesi sebagai
seorang pastor. Baru pada bagian tengah novel, cerita tentang tokoh Saman
dikemukakan, mulai dari masa kecilnya, sampai pilihannya menjadi seorang
pastor. Keterlibatannya dalam sebuah revolusi sosial di daerah transmigran di Sumatra
Selatan yang menyebabkan dirinya harus berganti nama Saman selepas dia ditahan
dan disiksa ala Pius Lustrilanang dkk. bulan Mei 1998 lalu oleh kelompok
tertentu yang mewakili sebuah kekuasaan Orde Baru. Cerita itu pun diselingi
dengan cerita tentang Shakuntala, sahabat Laila, yang menjadi peneliti dan
koreografer di New York dan masa lalu empat sekawan tersebut, lengkap dengan
hubungan dan pandangan-pandangan mereka tentang pria.
Ada yang menarik dari teknik point of view dalam novel ini. Ketika
yang diceritakan tokoh-tokoh perempuan, ternyata narator menggunakan point of view akuan, sehingga ada dua
akuan di sini. Akuan Laila pada bagian awal novel dan akuan Shakuntala pada
bagian tengah novel. Sementara itu, ketika fokus yang diceritakan pria (Sihar dan
Saman) digunakan teknik orang ketiga. Point
of view tersebut dapat dikatakan menunjukkan adanya keterkaitan ideologi
feminisme yang menempatkan perempuan sebagai subjek, yaitu sebagai fokus yang
berbicara dan beraksi. Dalam novel tersebut dengan jelas akan tampak bagaimana
para perempuan menjadi subjek yang memaparkan pengalamannya,
gagasan-gagasannya, serta impian-impiannya menjadi lebih kuat, lebih-lebih
dengan gaya cerita yang cenderung terbuka (blak-blakan),
seperti ini.
“Dan kalau dia datang ke taman
ini, saya akan tunjukkan betapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya
padanya. Serta beberapa sajak di bawahnya.
Kuinginkan mulut yang haus/dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara
pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada sebuah gambar
cat air…..” (Utami, 1998: 3).
Di samping itu, para tokoh perempuan dalam
Saman adalah figur perempuan muda
masa kini yang kesemuanya memiliki karier dan aktivitas di sektor publik. Laila
menjadi fotografer sebuah majalah di Jakarta, Cok seorang pengusaha hotel,
Yasmin seorang pengacara, dan Shakuntala seorang peneliti dan koreografer tari
yang mendapat beasiswa belajar dan meneliti tari di New York. Mereka bukan lagi
para perempuan seperti Sitti Nurbaya (Sitti Nurbaya), Mariamin (Azab
dan Sengsara), Lasi (Bekisar Merah), maupun Sri Sumarah (Sri
Sumarah dan Bawuk) yang memiliki kecenderungan sebagai sosok yang nasibnya
diatur oleh budaya yang menempatkan mereka pada posisi dan peran yang tidak
sama dengan pria. Dalam hubungannya dengan sosok perempuan dalam novel
sebelumnya, mereka lebih dekat dengan tokoh-tokoh perempuan pada novel Dini dan
Mangunwijaya. Dalam Jalan Bandungan,
Dini menggambarkan sosok perempuan seperti Muryati, seorang guru SD yang
mendapatkan beasiswa pendidikan ke Belanda, di samping jiwa emansipatoris.
Sementara Burung-burung Manyar karya
Mangunwijaya menggambarkan sosok perempuan Indonesia yang sejak awal
kemerdekaan Indonesia telah aktif sebagai sekretaris Perdana Menteri dan pada
akhirnya mencapai puncak karier sebagai doktor biologi dengan predikat maxima cumlaude dan menjabat sebagai
dirjen Pelestarian Alam.
Apabila dipahami secara
sosiokultural, sosok perempuan yang digambarkan dalam Saman menunjukkan adanya gejala pengingkaran terhadap ideologi
familialisme dalam masyarakat berkultur patriarki (Kusujiarti, 1997:90). Dalam
masyarakat yang menganut ideologi familialisme disebutkan bahwa peran utama
perempuan adalah di rumah sebagai ibu
dan istri. Sementara peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah
tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga,
sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk kepadanya.
Dari karier dan aktivitas Laila dan
teman-temannya tampak bahwa mereka merupakan sosok perempuan yang mencoba untuk
keluar dari dan mengingkari ideologi familialisme tersebut, yang dalam
masyarakat Indonesia masih demikian kuat mengakar (Bdk. Yuarsi, 1997:246).
Mereka adalah contoh figur yang melakukan pengingkaran terhadap ideologi
familialisme dengan berusaha merekonstruksi sejarah kehidupannya dengan
membangun identitas baru bagi dirinya, tidak lagi hanya sebagai istri atau ibu,
tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karier (Abdullah, 1997:17). Dari keempat
tokoh itu, hanya Yasmin yang sudah menikah, tetapi dia pun tidak lagi harus
menjadi ibu rumah tangga semata.
Apabila dipahami dalam konteks sosiologi,
khususnya yang berhubungan dengan perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia,
keempat tokoh tersebut dapat dikatakan merupakan represntasi dari para wanita yang
telah mendapatkan kemerdekaannya. Mereka sadar akan posisi dan perannya yang
harus seimbang dengan pria. Walaupun mereka juga masih hidup dalam lingkungan
masyarakat yang mengagungkan keunggulan patriarki dan ideologi familialisme.
Sikap dan cara berpikir mereka seringkali menunjukkan perlawanannya terhadap
ideologi tersebut, walaupun tidak semuanya berhasil. Terbukti Laila dan
Shakuntala tidak pernah mampu membebaskan dirinya secara total dalam
bayang-bayang kekuasaan pengawasan ayahnya, sampai-sampai masuk dalam mimpi-mimpinya.
“Saya tadi bermimpi, Sihar.
Kita berada di sebuah pesta. Ternyata perkawinan kita. Ada penghulu, juga
korden. Seperti perkawinan rahasia. Tapi kemudian di balik tirai itu, masih
agak jauh tetapi menuju kemari saya melihat ayah. Ya. Ayah berjalan
terburu-buru…..” (Utami, 1998: 31).
Maka, ketika mendapat
kesempatan menari (berkarier) di New York, Shakuntala amat bahagia, karena menurutnya dia dapat
jauh dengan ayahnya, sebagai simbol patriarki yang dibencinya.
“Aku akan menari, dan
menari jauh dari ayahku. Betapa menyenangkan.
Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan
nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu…..” (Utami,
1998: 138).
… Kemudian aku mengerti
bahwa New York bukan negeri raksasa. Tapi aku tidak kecewa, sebab aku telah
jauh dari ayahku …. (Utami, 1998: 140).
Dari beberapa kutipan tersebut tampak
jelas bagaimana tokoh-tokoh perempuan dalam novel tersebut merasa terbelenggu
dalam kultur patriarki dan ingin bebas darinya. Penolakan terhadap dominasi
patriarki juga tampak pada ke- tersinggungan Laila atas sikap Saman, ketika
Sihar menyuruhnya menyingkir karena dia akan berbicara berdua dengan Saman,
dengan dalih yang mereka bicarakan adalah urusan laki-laki.
“Ada satu hal
yang mengeherankan dan tidak menyenangkan saya dalam perjalanan ini. Di sebuah
restoran di Prabumulih, Saman meminta saya masuk ke dalam dulu. Saya menolak,
tetapi ia terkesan memaksa, sebab mereka perlu bicara berdua saja.
“Urusan
lelaki,” kata Saman. Itu membuat saya tersinggung, tetapi juga heran. Dulu
Saman tidak begitu. (Utami, 1998: 32)
Dengan tegas bahkan Shakuntala memprotes
budaya yang menunjukkan dominasi laki-laki yang tampak pada aturan yang
mewajibkan seorang anak yang belum menikah mencantumkan nama ayahnya dalam
visanya.
“Kenapa ayahku harus tetap memiliki bagian dariku? Tapi hari-hari ini
semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak
pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia dan beruntung karena dilahirkan.
Alangkah melesetnya. Alangkah naifnya(...) Kenapa pula aku harus memakai nama
ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku?” (Utami, 1998:138).
Pandangan dan sikap Shakuntala
menunjukkan protesnya terhadap ketidakadilan gender yang terjadi dalam kehidupan
sosial. Dalam hal-hal tertentu masyarakat seringkali meremehkan peran dan
keberadaan ibu dalam hubungannya dengan anaknya. Dalam bagian lain novel
tersebut juga terdapat kritik yang disampaikan oleh Shakuntala terhadap
ketidakadilan gender dalam masyarakat Jawa, yang tampak pada upacara perkawinan
Jawa ketika sahabatnya Yasmin Moningka menikah dengan orang Jawa dalam adat
Jawa.
“Yasmin
Moningka orang Menado, tapi ia setuju saja untuk menikah dengan adat Jawa yang
rumit itu. Ia juga rela mencuci kaki Lukas
sebagai tanda sembah bakti istri kepada suami, yang tak ada dalam upacara di
Menado.
“Kok mau-maunya sih pakai acara
begitu?” aku protes.
“Ah,
Yesus juga mencuci kaki murid-muridnya, lagi pula kamu sendiri orang Jawa? Aku
mau memberondongkan panjang lebar tentang Yesusnya dan jawaku. Misalnya
cuci-cucian Yesus itu adalah sebuah penjungkirbalikan nilai-nilai, sementara
yang dilakukan istri Jawa adalah kepatuhan dan ketidakberdayaan. Tidak sejajar
sama sekali.” (Utami, 1998: 154).
Ketidakadilan gender yang
tampak pada kutipan tersebut, berkaitan dengan ideologi familialisme yang demikian kuat mengakar
dalam masyarakat Jawa (Kusujiarti, 1997:90). Dalam masyarakat ideologi tersebut
ikut melegalisasi perbedaan peran dan kedudukan laki-laki dengan wanita dalam
masyarakat adalah ideologi familialisme.
Familialisme adalah ideologi
yang mengatur peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam famili
(keluarga). Ideologi ini memandang bahwa
peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang memiliki
hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga, sehingga anggota
keluarga lain, termasuk istri harus tunduk kepadanya. Sementara itu, peran
wanita yang utama adalah di sekitar rumah tangga sebagai ibu dan istri
(Kusujiarti, 1997:90-92). Akibat dari berlakunya ideologi tersebut adalah
munculnya ketidakadilan gender dan dominasi patriarki. Perilaku dan kehidupan
orang Jawa hampir semuanya dijiwai oleh ideologi tersebut. Sejak kecil makhluk
perempuan telah dipersiapkan pada perannya sebagai seorang istri dan ibu.
Mereka harus dilatih pekerjaan rumah tangga dengan membantu ibunya. Bahkan,
ketika menikah pun, dalam prosesi upacaranya diwarnai dengan simbol-simbol yang
menyadarkan bagaimana tugas dan kewajibannya kepada suami dan rumah tangganya.
Itulah yang dikritik Shakuntala, yang juga orang Jawa dalam Saman.
Dalam perspektif sosiologi
karya sastra, sosok, karakter, dan gagagan para perempuan dalam Saman, dapat dipandang sebagai bentuk
representasi dari kondisi perempuan Indonesia 1990-an, yang sesuai dengan latar
waktu dalam novel tersebut.
D.
Sosiologi Pembaca dan Dampak Sosial Karya
Sastra
Sosiologi pembaca merupakan salah satu
model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara
karya sastra dengan pembaca. Hal-hal yang menjadi wilayah kajiannya antara lain
adalah permasalahan pembaca dan dampak
sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung
dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994).
Di samping itu, juga mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh
nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial (Watt, via Damono, 1979).
1. Pembaca
Pembaca
merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya.
Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan
Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau
pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak
sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya penyair Coleridge. Sastrawan
baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.
Beberapa
sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai dengan aliran
sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma,
dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmat
Tohari, atau pun Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma,
dan Putu Wijaya yang berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional,
dan penuh dengan renungan filosofi mengenai hidup manusia lebih sesuai untuk publik
yang memiliki latar belakang intelektual perguruan tinggi dan kompetensi sastra
yang relatif tinggi. Sementara karya-karya Umar Kayam dan Ahmat Tohari yang
cenderung beraliran realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-masalah
sosial budaya memiliki publik lebih
luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia dapat menikmati karya-karya
mereka.
Perlu
dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang secara
nyata (riel) membaca karya-karya pengarang tertentu. Apa motivasinya membaca
karya tersebut? Apakah mereka membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah
karya seni? Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya
tersebut? Atau membaca karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai
kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan
wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Mengengah, Depdiknas),
memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra (proyek
Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan Nobel), bahkan juga
membaca untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi sebuah
karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih
luas. Perlu diteliti juga bagaimana para pembaca tersebut menilai dan
menanggapi karya sastra yang telah dibacanya? Faktor-faktor apa sajakah (secara
sosiologis dan psikologis) yang berpengaruh dalam menilai dan menanggapi karya
sastranya?
2. Dampak dan fungsi sosial karya sastra
Setelah
sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati
pembaca. Dalam bukunya, Ars Poetica
(tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan tugas dan
fungsi seorang penyair dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan memberi nikmat atau sekaligus
mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Apa yang
dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori
pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi sastra.
Dalam hubungannya dengan fungsi sosial
sastra, Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan adanya tiga pandangan yang
berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum romantik yang
menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga
sastra harus berfungsi sebagai pembaharu
dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra sebagai
penghibur belaka; (3) pandangan yang bersifat kompromis, di satu sisi sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam kajian sosiologi pembaca menurut
Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca
terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan,
menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu
karya sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim
sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya
masyarakatlah yang membentuk cita rasa
dan norma-norma yang digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Untuk
menerapkan kajian ini terlebih dulu perlu ditentukan wilayah kajiannya,
misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan
menanggapi karya tertentu, ataukah akan
meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya,
faktor-faktor sosial budaya politik yang
melatarbelakangi tanggapan pembaca, ataukah bagaimana pembaca memanfaatkan
karya tertentu? Setelah menentukan wilayah kajiannya, selanjutnya kumpulkanlah
data yang diperlukan, dilanjutkan dengan
memaknai data tersebut.
3. Dampak Sosial Sastra: Kasus Heboh
Sastra “Langit Makin Mendung”
Peristiwa heboh sastra yang pernah terjadi di
Indonesia pada tahun 1968. Peristiwa tersebut berhubungan dengan pembredelan majalah
Sastra No. 8, tahun 6, Agustus 1968
oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara dan mengadilan terhadap H.B. Jassin selaku
redaktur majalah tersebut setelah pemuatan cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin merupakan
contoh kasus untuk dampak sosial karya sastra bagi masyarakat. Dari isinya
cerita pendek “Langit Makin Mendung”
dianggap telah menghina agama Islam, Allah, Nabi Muhammad, Sahabat Abu
Bakar, Usman, Ali, juga Nabi Adam. Dalam cerpen tersebut digambarkan bagaimana
para “pensiunan nabi” di sorga mengalami kebosanan. Kemudian, dengan dipelopori
oleh Nabi Muhammad, mengajukan petisi kepada Tuhan untuk turba ke bumi.
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa
mengeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia...
Dipanggillah penandatangan pertama: Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi
biasa memangilnya Muhammad saw...
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di surgaku ini?
Bidadari jelita berjuta....”
Dampak dari pelarangan majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut
adalah munculnya polemik mengenai
peristiwa tersebut di sejumlah majalah dan surat kabar. Di samping itu, sejumlah pengarang di Jakarta telah
mengeluarkan suatu protes atas pelarangan majalah Sastra. Para pengarang yang
menandatangani surat protes tersebut, antara lain H.B.Jassin, Trisno Sumardjo
(Ketua Dewan Kesenian Jakarta), D. Djajakusuma (Ketua Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia), Umar Kayam (Dirjen Film, Radio dan TV), Taufiq Ismail
(Penyair Angkatan 66 dan kolumnis Islam), Slamet Sukirnanto (anggota DPRGR/MPRS
dan wakil Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam Presidium KAMI), dll. (Tasrif,
dalam Pledoi Sastra, 2004:143-144).
Sejumlah
penulis yang melakukan polemik di media massa antara lain adalah H.B. Jassin
(“Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta” Horison, 11, Novemver 1968), S. Tasrif SH (“Larangan Beredar
Majalah Sastra”, Pelopor Baru, 15
Oktober 1968), Jusuf Abdullah Puar (“Cerpen Sastra
Menghina Nabi Muhammad,” Operasi
Minggu, 20 Oktober 1968), Bur Rasuanto (“Larangan Beredar Majalah Sastra,” Mingguan Angkatan Bersenjata, 20 dan 27 Oktober 1968), dsb. Dari sejumlah
artikel tersebut, ada dua kelompok, yaitu kelompok yang membela Kipanjikusmin
dan H.B. Jassin, dan kelompok yang marah terhadap Kipanjikusmin karena telah ditudih
menghina agama Islam, Tuhan, serta para nabi dan sahabat-sahabatnya.
Cerpen
“Langit Makin Mendung” dan artikel yang
berpolemik seputar pelarangan cerpen dan majalah Sastra tersebut dapat dibaca
dalam buku Pledoi Sastra: Kontroversi
Langit Makin Mendung Kipanjikusmin (2004). Dengan membaca buku tersebut,
kita akan memahami bagaimana sebuah cerita pendek dapat menimbulkan dampak
sosial yang cukup serius pada masanya.
Bahkan, karena bersikukuh tidak mau memberitahukan siapa sebenarnya
Kipanjikusmin yang mengarang cerpen “Langit Makin Mendung”, H.B. Jassin telah
mempertaruhkan dirinya untuk diadili oleh
Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara maupun oleh para
pembaca yang marah terhadap isi cerpen tersebut.
No comments:
Post a Comment