Thursday, March 15, 2012

Analisis Cerpen Bali "Malaib Sutrisni ! "


LATAR BELAKANG

            Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Cerpen sebagai salah satu karya sastra yang mampu mengungkapkan realitas sosial dalam aspek-aspek kehidupan dan dapat digunakan sebagai sarana bagi pembaca untuk lebih memahami masalah-masalah realitas sosial dalam kehidupan.Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan permasalahan yang muncul dalam kehidupan berumah tangga. Seperti halnya saya mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan segala rutinitas yang terjadi pada realita kehidupan berumah tangga baik itu tentang pelik dalam meratapi hidup. Cerpen yang saya kaji itu adalah sebuah cerpen Bali yang saya dapatkan pada Mingguan Bali Post tanggal 8 Januari 2012 berjudul “Malaib Luh !!! Malaib” karya Komang Adnyana.
Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum yaitu agar mahasiswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembelajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik mahasiswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya para pembaca akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kajian ilmu sosiologi sastra dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan apresiasi sekaligus analisisnya. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).
Sinopsis Cerpen “Malaib Luh ! Malaib”

            Dalam cerpen ini dikisahkan seorang pemuda yang bernama Waisnawa. Sosok pemuda yang dengan kesehariannya bekerja sebagai seorang pelukis. Dengan kepiawaiannya memkomposisikan cat dan menggambar, banyak sudah karya lukis yang dia buat dan dijadikan sebagai sarana mata pencaharian untuk biaya hidup berumah tangga bersama sang Istri tercinta Sutrisni. Dari kisah pernikahan mereka yang diceritakan secara flash black oleh pengarangnya, disini Orang tua Sutrisni tidak merestui pernikahannya karena melihat keadaan ekonomi Waisnawa yang tidak memungkinkan untuk menghidupi Sutrisni, apabila sudah dipersunting oleh Waisnawa serta membina rumah tangga. Melihat keadaan tersebut Orang tua Sutrisni bersikeras untuk menjauhkan Sutrisni dengan calon suami yang dicintainya namun, hal tersebut gagal karena Sutrisni lebih memilih jalan untuk hidup berumah tangga dengan Waisnawa. Hal tersebut membuat Orang tua Sutrisni shock, saking marahnya merekapun tidak menganggap Sutrisni sebagai anak lagi dan Sutrisnipun di usir dari rumah tanpa restu pernikahan yang akan dilangsungkan nanti dengan calon suaminya.
            Al kisah, Sutrisnipun melangsungkan bahtera rumah tangga dengan tinggal bersama Waisnawa dan akan membina rumah tangga yang kecil ditambah nanti dengan kehadiran sosok buah hati mereka, kehamilan Sutrisni membuat Waisnawa semakin menjadi suami yang Siaga (Siap, Antar, Jaga). Terbesit dalam benak pengharapan Waisnawa tentang kehamilan Sutrisni. Ia berharap, apabila anak yang lahir perempuan, akan dijadikannya seorang penari Bali yang piawai menarikan tari Bali dan melukis elok gemulai tubuhnya menari pada waktu mengenakan pakaian tari. Sedangkan apabila anak yang lahir seorang laki-laki, dia berharap sosok anak lelaki yang berbudi, berwibawa dan berakhlak baik kepada orang tuanya. Sutrisnipun berharap sama seperti suami tercinta. Sampai tiba saatnya Sutrisni dibawa ke rumah sakit untuk melahirkan anak pertamanya. Dengan keadaan Sutrisni merintih kesakitan dibantu oleh bidan dan para medis lainnya, ternyata anak yang dilahirkan sosok perempuan yang mungil, berkulit putih bersih dan parasnya yang cantik. Sungguh bahagia perasaan Waisnawa ketika putri pertamanya lahir dengan keadaan selamat disertai Sutrisni yang berbangga hati telah menjadi ibu dan melahirkan sang buah hati secara normal.
            Tetapi  tidak berlangsung lama kebahagiaan itu ketika Waisnawa mengetahui banyaknya pengeluaran untuk biaya persalinan sang istri di rumah sakit yang berlangsung berhari-hari itu. Ternyata, uang yang dihabiskan cukup banyak dan membuat hasil jerih payah Waisnawa habis dan tidak mencukupi untuk membayar biaya rumah sakit sekaligus pengobatan anak dan istrinya. Segala usaha telah dilakukan olehnya, dari menjual lukisan karyanya, serta meminta bantuan dari sanak saudaranya. Hal tersebut juga tidak membuahkan hasil yang dapat membantunya dalam peliknya masalah ini. Sutrisnipun merasa sedih dan sesekali meneteskan air mata ketika Ia melihat anak perempuannya yang tidak tau apa-apa tentang keadaan yang sedang dialami oleh orang tuanya. Sehari waisnawa pergi meninggalkan istri dan buah hatinya di rumah sakit untuk mencari uang. Esoknya tiba-tiba sosok pemuda tinggi, berkulit putih dan berambut pirang yang tiada lain adalah seorang Bule bersama Waisnawa mendatangi kamar rumah sakit tempat Sutrisni dan Anaknya dirawat yang masih dalam kondisi belum stabil. Bule tersebut sesekali menggendong putri pertamanya seraya senang dan berkata “anak ini akan menjadi seorang penari (strimkis)  yang piawai nantinya”. (dalam bahasa inggris). Mendengar perkataan itu hati Sutrisni merasa tersayati karena tidak tega melihat anaknya diperlakukan seperti itu  dan diperjual belikan oleh suaminya untuk membayar biaya rumah sakit yang mahal itu. Sungguh tega Waisnawa memperlakukan anak dan istrinya seperti itu. Dan pada akhirnya, Sutrisni yang tidak rela dengan perlakuan suaminya terhadap buah hatinya, ingin segera menemukan cara untuk membawa lari anaknya, jauh pergi meninggalkan bule serta suaminya yang tidak mempunyai akal sehat lagi.
                                                                                


Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen “Malaib Luh !! Mlalaib” itu sebagai berikut:
Tema
Tema cerita merupakan dasar pemikiran dari sebuah karangan. Nurgiyantoro (2000:68) menungkapkan bahwa “tema merupakan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan”. Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.  
Tema dalam cerpen “Malaib Luh! Malaib” sebenarnya ada pada konflik bhatin pada paragraph / kalimat :
“Bli seken-seken dot ngadep pianak iragane?”
“Pipise ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Pipise ento anggon idup I raga seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe. Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin bli.”
Malaib !!! palaibang ragane ke tongose ane paling singid !! Malaib cara prabu Basudewa nyelamatang Kresna.
Artinya            :
“Suamiku, apakah engkau memang benar ikhlas dari hatimu untuk menjual buah hati kita?’
“Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah sakit saja. Uang itu untuk biaya hidup kita nanti seterusnya. Bagaimanapun pikiranmu. Anak bisa kita buat kembali. Berapapun akan ku beri”.
“Lari !!! berlarilah kau ke tempat yang paling jauh!! Berlarilah seperti Prabu Basudewa menyelamatkan Kresna”.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa terjadi konflik bhatin dalam cerpen yang dijadikan sebagai tema cerita ini. Hal tersebut didukung dengan sutrisni yang tidak menyetujui hasrat suaminya yang ingin memperjualbelikan anaknya yang baru lahir itu. Dengan berbagai alas an suaminya yang ingin mendapatkan uang banyak untuk menanggung biaya rumah sakit dan obat-obatan  serta kelangsungan hidupnya nanti. Sehingga, kata hati sutrisni berkata ingin membawa lari buah hatinya.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluruh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat yang disampaikan oleh pengarang dalam cerpen ini adalah “Perilaku menjualbelikan buah hati sangatlah tidak terpuji. Janganlah berprilaku yang demikian meskipun kita sedang berada dalam keadaan susah atau dalam prihal hidup lainnya, karena anak adalah anugrah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Alur atau plot
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang pemuda bernama waisnawa yang kesehariannya hanya dipakai untuk melukis sebagai sarana penghidupannya. Kalimat yang menunjukkan hal tersebut adalah      :            “Apang de pesan nganten teken Made Waisnawa. Mapan gegaene              sing seken. Pergaulane sing beneh, tukang gambar sing laku ,                               seniman masi tidong”.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal.
Pernyataan yang menunjukkan hal tersebut adalah    :
“Pidan yan pianake lekad, pastika bagia idupe bli. Mirib care ngumbang ka langit.
Artinya            :           “Apabila nanti anak kita lahir, hidup ku pasti bahagia. Seperti                                  melayang-layang rasanya di langit”
Pernyataan diatas menunjukkan perasaan bahagia Waisnawa jika mempunyai sang buah hati nantinya.
“ Bli dot pianak I ragane dadi pregina, apang bli nyidaang ngambar paukudane cara pragina-pragina sane kasub pidan-pidan. Lakar ngaenang bli kanvas paling gedene. Ia lakar dadi model bline ane paling luunga”.
Artinya            :           “Yang ku inginkan anak kita menjadi seorang penari, supaya aku dapat melukis elok gemulai tubuhnya seperti penari yang sudah terkenal lainnya. Akan ku buatkan sebuah kanvas dengan ukuran yang besar. Dia akan menjadi modelku yang paling bagus”.
Pernyataan diatas menerangkan angan – angan Waisnawa tentang lahirnya si buah hati nanti.
“Yan keto pianake apang luh lekadne. Kewala tiang dot pianak muani Bli,” Sutrisni ngemanying.
Artinya            :           “Kalau begitu agar perempuan lahir. Tetapi aku inginkan seorang                 anak laki-laki suamiku”.
Pernyataan diatas menerangkan bahwa perbedaan keinginan tentang sosok buah hati yang akan lahir nantinya antara Waisnawa dengan Sang Istri.
“Apa seken-seken sing ada jalan len bli? Apa sing ada ane nyak  ngemaang nyilih?” “Tusing ada. Bli suba paling kema-mai. Sing ada ngemaang. Timpal-timpal bline patuh keweh idupne”. Diapin suba mautsaha ngirit, sairit-iritne, penghasilanne tetep kuangan dogen. Keweh ngalih pis yan tuah ngandelang ngadep gambaran. Apabuin kurenane boya je pelukis terkenal. Waisnawa paling. Stress, gambarane sayan soleh-soleh.
Artinya            :           “Apa memang benar-benar tidak ada jalan lain suamiku? Ataukah tidak ada orang yang berbaik hati untuk memberikan kita pinjaman?” “tidak ada, ku sudah kesana-kesini. Tidak ada yang peduli untuk memberikan pinjaman. Teman-temanku sama sepertiku yang susah dalam hidup”. Disamping sudah berusaha mengirit, seirit-iritnya. Tetap penghasilannya kurang. Susah mencari uang apabila mengandalkan hasil dari menjual lukisan. Apalagi suaminya bukan seorang pelukis terkenal. Waisnawa sangat Stress, lukisan yang dia buat menjadi amburadul.
Pernyataan diatas menunjukkan munculnya konflik yaitu keadaan pelik dalam pemenuhan hidup yang dihadapi Waisnawa dan Istrinya. Dan Waisnawapun menjadi Stress akibat memikirkan masalah tersebut.
 “Pipise ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Pipise ento anggon idup I raga seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe. Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin bli.”
Artinya            : “ Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah sakit saja. Uang itu untuk biaya hidup kita seterusnya. Kapanpun keinginanmu. Buah hati bisa di buat kembali. Berapapun akan ku sanggupi”
Pernyataan tersebut menggambarkan klimaks yang berupa keinginan Waisnawa untuk menjual anaknya demi memenuhi biaya rumah sakit dan pengobatan serta untuk kelangsungan hidupnya nanti.
Bulene ento adung pesan matutur-tuturan, ajak kureranane. Keto masi ajak dokter lan perawate. Di kenken makejang kedek pakrikik sambilanga ngusud panakne. Ngusuhin kulit ne ane nadaksara tepukina ocem.
Artinya            :           Bule itu sangat akrab membicarakan masalah perjualbelian anak dengan suaminya. Begitupula dengan dokter dan perawat menyatakan keadaan bayi. Semua tertawa sambil membelai anaknya. Dibelai kulitnya yang semakin lama dilihatnya semakin ucem.
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa Sutrisni melihat seorang bule, dokter, perawat dan suaminya, asyik membicarakan tentang keadaan sang bayi yang bakal diperjualbelikan oleh suaminya itu.
Kenken ja apang maan selah setonde pianakne seken-seken makisid kaliman bulene ento. Malaib Sutrisni .
Artinya            :           Bagaimanapun caranya agar mendapat ide untuk membawa lari sang bayi sebelum dibawa pergi oleh Bule itu.
Pernyataan diatas menunjukkan akhir klimaks, dinama sutrisni akan mencari cara untuk membawa lari sang anak sebelum Bule itu membawanya.
Bagian Akhir
Pada bagian akhir cerita ini menyatakan bahwa Sutrisni tidak menyetujui keinginan suaminya itu. Dan pada akhirnya Sutrisnipun berusaha untuk mencari akal/ ide untuk membawa lari sang buah hati yang sangat dicintainya sebelum jatuh ke tangan Bule tersebut. Hal itu terdapat pada kalimat terakhir pada cerpen yaitu      :
Malaib !!! palaibang ragane ke tongose ane paling singid !! Malaib cara prabu Basudewa nyelamatang Kresna.
Artinya            :           “Lari !!! berlarilah kau ke tempat yang paling jauh!! Berlarilah seperti                      Prabu Basudewa menyelamatkan Kresna”.

Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial. Jadi latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita.
Latar Tempat
Dalam cerpen ini menunjukkan latar tempat yang merujuk pada suatu kejadian terjadi yaitu di rumah sakit dan rumah Waisnawa yang banyak terdapat lukisan-lukisan karyanya. Pernyataan yang menyebutkan hal tersebut adalah      :
Gambarane sayan soleh-soleh. Ne paling sidurina, ulian sisan cet ne telah, gambaran legongne nungkak sing matendas. Warnan awak praginane masi abesik, makaukud barak getih.
“Pipise ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Bulene ento adung pesan matutur-tuturan, ajak kureranane. Keto masi ajak dokter lan perawate”. Artinya “ Lukisannya amburadul. Yang terakhir, dari sisa cat nya habis, lukisan penari legong tidak berkepala, warna tubuhnya hanya memakai satu warna, seluruh tubuhnya berwarna merah darah.


 Latar waktu
Si pengarang dalam menyajikan cerpen ini tersebutlah latar waktu dari pernyataan ketika usia kandungan Sutrisni delapan bulan dan Sutrisnipun merasakan mual-mual pada perutnya menjelang kelahiran sang buah hati.
“Rikala belingane suba maumur kutus bulan, kurenane nyasan ngedegang rasa sayangne.” Artinya “Disaat kehamilannya sudah berumur delapan bulan, suaminya semakin lama semakin besar rasa sayangnya”.

Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya atau penciptaan citra tokoh dalam cerita. Pengarang menggambarkan :
  1. Tokoh Waisnawa dalam cerpen ini dengan sosok seseorang yang selalu bertindak mengutamakan kesejahteraan dirinya sendiri walaupun dengan cara apapun juga, dengan sedikit egoisme.
  2. Sedangkan pengarang menggambarkan karakter tokoh Sutrisni adalah sering menghayal saat dia sedang mengandung anak pertamanya, selalu meratapi nasib yang dihadapi dengan selalu berupaya untuk berfikir mencari pemecahan masalah yang dihadapinya.

Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Hindu). Kata tersebut diambil dari Ramayana dalam cerita Hindu yaitu Kresna, Prabu Wasudewa, Dewaki, dan Kangsa.
Selain itu pengarang juga menggunakan majas perumpamaan dalam cerpen. Yaitu “Apa luh ngengsap suba katundung!. Suba sing akuina pianak, suba ulaha cara cicing gudig!!”. Artinya apa kamu lupa, kamu sudah diusir.! Sudah tidak dianggap anak, sudah diusir seperti anjing kudisan!!”
“Awakne lemet, liu anake ngorahang nglekadang pianak care mangantung bok akatih, ne jani ia muktiang padidi. Mula saja-saja atep bates idup matine”. Artinya “Dirinya tidak berdaya, banyak orang mengatakan seperti melahirkan anak bagaikan menggantungkan sehelai rambut (hidup dan matinya begitu dekat), sekarang ia membuktikan sendiri.
Karasa ngumbang sutrisni kaampehang negehin langit ane paling tegehe. Kewala, makelo-kelo ada ane ngae tangkahne nek, ada ane ngengsut, mentik cara dui di ulu hati. Makelo-kelo nyasan ngelanyingang. Sumingkin ngemanganang. Pedih, duine ento ka ane lakar nyongket buin pidan, ngae kampid luh e uek, laut meme macepol ulung? Artinya “Serasa melayang Sutrisni terhembuskan melambung ke atas langit yang paling tinggi, tetapi, semakin lama ada sesuatu yang membuat dadaku sesak, ada yang tersangkutkan, tumbuh seperti duri di hulu hati. Lama kelamaan semakin tajam. Semakin runcing. Sakit, duri itu akan tersangkut nantinya, membuat sayap mu robek, kemudian ibu akan jatuh ?
“Pidan yan pianake lekad, pastika bagia idupe bli. Mirib care ngumbang ka langit.“Saja. Tiang ngipiang pianak ragane ngelah kampid.” Artinya “Dikalau anak kita lahir, pastinya hidup kita sangat bahagia. Seperti melayang rasanya ke langit”.

Isi Cerpen yang di kaji dengan menggunakan Sosiologi Karya Sastra
            Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat  dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat. Pengarang menuliskan ceritanya dalam bentuk sajian yang memiliki realitas atau problem yang ditemukan dalam kehidupan. Masalah Sosial dalam Karya Sastra sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dengan demikian pengarang akan memperlihatkan sikap dan pandangannya tentang berbagai unsur kehidupan manusia. Sumardjo (2001:64) mengungkapkan bahwa “sebuah karya cerpen yang baik ibarat pengalaman hidup yang kita alami dan sulit melupakannya”. Selanjutnya, Sumarjo mengungkapkan “Sastra menyajikan pengalaman kehidupan. Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat” (2001:89). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan.  Selanjutnya, Soekanto (1982:378-395) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, bergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, yaitu kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, masalah generasi muda, masalah lingkungan hidup, dan birokrasi.
Dalam penyajian cerpen ini pengarang menuliskan beberapa konflik yang muncul dalam sekelumit kehidupan masyarakat. Yang pada awal cerita diceritakan suatu pernikahan yang tanpa restu dari kedua orang tua mereka, dikarenakan Waisnawa adalah seorang pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, dia seorang pelukis tidak laku / baru belajar / bukan seorang seniman pula. Kemudian disusul oleh kelahiran dari anak perempuan mereka yang bersamaan dengan terhimpitnya anggaran biaya rumah sakit dan pengobatan serta biaya untuk kelangsungan hidup mereka, dan konflik yang terakhir adalah keinginan untuk mendapatkan banyaknya penghasilan yang dijadikan sebagai pegangan hidup adalah berupaya untuk memperjualbelikan anak yang baru lahir kepada seseorang yang bersedia.
Kalimat dalam cerpen yang mendukung :
“Apang de pesan nganten teken Made Waisnawa. Mapan gegaene sing seken. Pergaulane sing beneh, tukang gambar sing laku , seniman masi tidong. “Apa kal amah mani”.
“Jalan to dogen ne ada jani. Sing ada len.”
“Bli seken-seken dot ngadep pianak iragane?”
“Pipise ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Pipise ento anggon idup I raga seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe. Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin bli.”
Artinya            :          
“Supaya janganlah bersedia menikah dengan Made Waisnawa. Yang hanya punya pekerjaan yang tidak tetap. Pergaulannya tidak benar, seniman juga bukan / lukisannya tidak laku”
“Hanya jalan itu saja sekarang. Tidak ada jalan lain”
“Suamiku, memang dari kata hatimu ingin menjual anak kita?”
“ Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah sakit saja. Uang itu untuk biaya hidup kita seterusnya. Kapanpun keinginanmu. Buah hati bisa di buat kembali. Berapapun akan ku sanggupi”.
Dalam cerpen ini, pengarang mengambil topic dan isi cerita menurut pengalaman dari suatu fakta dan kejadian yang muncul dalam kehidupan berumah tangga dalam masyarakat. Di dalam cerita sangat jelas suatu konflik yang muncul adalah suatu konflik yang bertentangan dengan nilai dan norma di masyarakat. Berikut adalah penjelasan dari Nilai dan norma tersebut     :
Pengertian Norma sosial
Apabila nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat  apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Apa hubungannya antara nilai dengan norma? Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Berbagai macam norma dalam masyarakat
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan mengikatnya terdapat:
  1. Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak sopan.
  2. Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
  3. Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst.
  4. Adat (customs). Adat merupakan  norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat  menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
  5. Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-norma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang tegas.
Jika dilihat dari isi cerita “Malaib Sutrini ! Malaib” suatu potret konflik kehidupan yang dialami bertentangan dengan tingkat sanksi terkait kekuatan yang mengikatnya terhadap tata kelakuan (mores). Dimana perbuatan yang bertujuan untuk memperjualbelikan anak adalah suatu perbuatan jahat meskipun yang melakukan prihal tersebut adalah orang tua kandung dari anak yang bersangkutan. Sebab prilaku yang demikian adalah tindakan melanggar hukum (law) yang bertentangan dengan HAM
( Hak Azasi Manusia). Selain hal tersebut, tindakan memperjualbelikan anak adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma filsafat / agama. Terutama dalam agama hindu dalam tingkatan “Grahastha” masa berumah tangga yang menurut tatwa harus dibina dengan baik dan penuh suka duka kehidupan dengan kehadiran sang anak yang suputra / suputri sehingga keharmonisan rumah tangga itu tercipta disertai oleh rasa cinta kasih untuk membesarkan si buah hati yang merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
PENUTUP
Demikianlah analisis cerpen yang dapat saya paparkan, semoga dengan terselesainya analisis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk selalu bersifat peka terhadap suatu karya sastra yang sebagai pedoman dan acuan untuk melakukan analisa selanjutnya terhadap jenis karya sastra seperti cerpen, cergam, novel, komik dan lainnya serta suatu prihal yang merujuk pada pengalaman kehidupan baik itu dalam masyarakat. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap Dosen pembimbing atas terselesainya analisis cerpen saya yang jadi tepat pada waktu yang telah ditentukan. Segenap kritik dan saran yang membangun sangat perlu bagi saya, demi penyempurnaan analisis yang saya buat dala cerpen “ Malaib Sutrisni !! Malaib” karya Komang Adnyana. Akhir kata saya ucapkan. Terima Kasih. 

1 comment: