LATAR
BELAKANG
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah
satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di
antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan
imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Cerpen sebagai salah satu karya sastra
yang mampu mengungkapkan realitas sosial dalam aspek-aspek kehidupan dan dapat
digunakan sebagai sarana bagi pembaca untuk lebih memahami masalah-masalah
realitas sosial dalam kehidupan.Pengalaman yang universal itu tentunya sangat
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa
masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik,
pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca
cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur
kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di
dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan
cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh
permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan
tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh
atau membencinya.
Jika
kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan
sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman
kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu,
jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya
lebih hidup dan menarik.
Tidak
hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu
ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan
mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan permasalahan yang muncul
dalam kehidupan berumah tangga. Seperti halnya saya mencoba mengkaji cerpen
yang dikaitkan dengan segala rutinitas yang terjadi pada realita kehidupan
berumah tangga baik itu tentang pelik dalam meratapi hidup. Cerpen yang saya
kaji itu adalah sebuah cerpen Bali yang saya dapatkan pada Mingguan Bali Post
tanggal 8 Januari 2012 berjudul “Malaib Luh !!! Malaib” karya Komang
Adnyana.
Sementara
itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum yaitu agar mahasiswa
mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mengapresiasikan karya sastra.
Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap
masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran
sastra menjadi sangat penting.
Mengingat
perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembelajaran sastra yang
menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal
ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik mahasiswa
untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya,
juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat
menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu
merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi,
dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti diajak untuk mempelajari manusia dan
lingkungannya. Biasanya para pembaca akan sangat antusias jika diajak untuk
membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan
pengetahuannya.
Berangkat
dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji
keterkaitan cerpen dalam kajian ilmu sosiologi sastra dan berusaha menemukan
kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan apresiasi sekaligus analisisnya.
Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).
Sinopsis
Cerpen “Malaib Luh ! Malaib”
Dalam cerpen ini
dikisahkan seorang pemuda yang bernama Waisnawa. Sosok pemuda yang dengan
kesehariannya bekerja sebagai seorang pelukis. Dengan kepiawaiannya
memkomposisikan cat dan menggambar, banyak sudah karya lukis yang dia buat dan
dijadikan sebagai sarana mata pencaharian untuk biaya hidup berumah tangga
bersama sang Istri tercinta Sutrisni. Dari kisah pernikahan mereka yang
diceritakan secara flash black oleh
pengarangnya, disini Orang tua Sutrisni tidak merestui pernikahannya karena
melihat keadaan ekonomi Waisnawa yang tidak memungkinkan untuk menghidupi
Sutrisni, apabila sudah dipersunting oleh Waisnawa serta membina rumah tangga.
Melihat keadaan tersebut Orang tua Sutrisni bersikeras untuk menjauhkan
Sutrisni dengan calon suami yang dicintainya namun, hal tersebut gagal karena
Sutrisni lebih memilih jalan untuk hidup berumah tangga dengan Waisnawa. Hal
tersebut membuat Orang tua Sutrisni shock, saking marahnya merekapun tidak
menganggap Sutrisni sebagai anak lagi dan Sutrisnipun di usir dari rumah tanpa
restu pernikahan yang akan dilangsungkan nanti dengan calon suaminya.
Al
kisah, Sutrisnipun melangsungkan bahtera rumah tangga dengan tinggal bersama
Waisnawa dan akan membina rumah tangga yang kecil ditambah nanti dengan
kehadiran sosok buah hati mereka, kehamilan Sutrisni membuat Waisnawa semakin menjadi
suami yang Siaga (Siap, Antar, Jaga). Terbesit dalam benak pengharapan Waisnawa
tentang kehamilan Sutrisni. Ia berharap, apabila anak yang lahir perempuan,
akan dijadikannya seorang penari Bali yang piawai menarikan tari Bali dan
melukis elok gemulai tubuhnya menari pada waktu mengenakan pakaian tari.
Sedangkan apabila anak yang lahir seorang laki-laki, dia berharap sosok anak
lelaki yang berbudi, berwibawa dan berakhlak baik kepada orang tuanya.
Sutrisnipun berharap sama seperti suami tercinta. Sampai tiba saatnya Sutrisni
dibawa ke rumah sakit untuk melahirkan anak pertamanya. Dengan keadaan Sutrisni
merintih kesakitan dibantu oleh bidan dan para medis lainnya, ternyata anak
yang dilahirkan sosok perempuan yang mungil, berkulit putih bersih dan parasnya
yang cantik. Sungguh bahagia perasaan Waisnawa ketika putri pertamanya lahir
dengan keadaan selamat disertai Sutrisni yang berbangga hati telah menjadi ibu
dan melahirkan sang buah hati secara normal.
Tetapi tidak berlangsung lama kebahagiaan itu ketika
Waisnawa mengetahui banyaknya pengeluaran untuk biaya persalinan sang istri di
rumah sakit yang berlangsung berhari-hari itu. Ternyata, uang yang dihabiskan
cukup banyak dan membuat hasil jerih payah Waisnawa habis dan tidak mencukupi
untuk membayar biaya rumah sakit sekaligus pengobatan anak dan istrinya. Segala
usaha telah dilakukan olehnya, dari menjual lukisan karyanya, serta meminta
bantuan dari sanak saudaranya. Hal tersebut juga tidak membuahkan hasil yang
dapat membantunya dalam peliknya masalah ini. Sutrisnipun merasa sedih dan
sesekali meneteskan air mata ketika Ia melihat anak perempuannya yang tidak tau
apa-apa tentang keadaan yang sedang dialami oleh orang tuanya. Sehari waisnawa
pergi meninggalkan istri dan buah hatinya di rumah sakit untuk mencari uang.
Esoknya tiba-tiba sosok pemuda tinggi, berkulit putih dan berambut pirang yang
tiada lain adalah seorang Bule bersama Waisnawa mendatangi kamar rumah sakit
tempat Sutrisni dan Anaknya dirawat yang masih dalam kondisi belum stabil. Bule
tersebut sesekali menggendong putri pertamanya seraya senang dan berkata “anak
ini akan menjadi seorang penari (strimkis)
yang piawai nantinya”. (dalam bahasa inggris). Mendengar perkataan itu
hati Sutrisni merasa tersayati karena tidak tega melihat anaknya diperlakukan
seperti itu dan diperjual belikan oleh suaminya
untuk membayar biaya rumah sakit yang mahal itu. Sungguh tega Waisnawa
memperlakukan anak dan istrinya seperti itu. Dan pada akhirnya, Sutrisni yang
tidak rela dengan perlakuan suaminya terhadap buah hatinya, ingin segera
menemukan cara untuk membawa lari anaknya, jauh pergi meninggalkan bule serta
suaminya yang tidak mempunyai akal sehat lagi.
Tinjauan atas Unsur
Intrinsik
Unsur intrinsik adalah
unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema,
amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang
terdapat dalam cerpen “Malaib Luh !!
Mlalaib” itu sebagai berikut:
Tema
Tema cerita merupakan dasar
pemikiran dari sebuah karangan. Nurgiyantoro (2000:68) menungkapkan bahwa “tema
merupakan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan”. Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan
menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti tidak bisa menulis cerita. Gagasan
yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan
seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema dalam cerpen “Malaib Luh! Malaib” sebenarnya ada pada konflik bhatin pada paragraph
/ kalimat :
“Bli
seken-seken dot ngadep pianak iragane?”
“Pipise
ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Pipise ento anggon idup I raga
seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe. Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin
bli.”
Malaib
!!! palaibang ragane ke tongose ane paling singid !! Malaib cara prabu Basudewa
nyelamatang Kresna.
Artinya :
“Suamiku, apakah engkau memang benar ikhlas dari
hatimu untuk menjual buah hati kita?’
“Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah sakit
saja. Uang itu untuk biaya hidup kita nanti seterusnya. Bagaimanapun pikiranmu.
Anak bisa kita buat kembali. Berapapun akan ku beri”.
“Lari !!! berlarilah kau ke tempat yang paling
jauh!! Berlarilah seperti Prabu Basudewa menyelamatkan Kresna”.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa terjadi konflik
bhatin dalam cerpen yang dijadikan sebagai tema cerita ini. Hal tersebut
didukung dengan sutrisni yang tidak menyetujui hasrat suaminya yang ingin
memperjualbelikan anaknya yang baru lahir itu. Dengan berbagai alas an suaminya
yang ingin mendapatkan uang banyak untuk menanggung biaya rumah sakit dan
obat-obatan serta kelangsungan hidupnya
nanti. Sehingga, kata hati sutrisni berkata ingin membawa lari buah hatinya.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan
dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluruh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh
pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi
yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat
merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat yang disampaikan oleh pengarang dalam
cerpen ini adalah “Perilaku
menjualbelikan buah hati sangatlah tidak terpuji. Janganlah berprilaku yang
demikian meskipun kita sedang berada dalam keadaan susah atau dalam prihal
hidup lainnya, karena anak adalah anugrah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Alur
atau plot
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian
tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur.
Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan
bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut.
Bagian
Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam
cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/
memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini,
eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang pemuda
bernama waisnawa yang kesehariannya hanya dipakai untuk melukis sebagai sarana
penghidupannya. Kalimat yang menunjukkan hal tersebut adalah : “Apang de pesan nganten teken Made Waisnawa.
Mapan gegaene sing seken.
Pergaulane sing beneh, tukang gambar sing laku , seniman masi tidong”.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan
suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari
ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas
pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal.
Pernyataan yang menunjukkan hal tersebut adalah :
“Pidan
yan pianake lekad, pastika bagia idupe bli. Mirib care ngumbang ka langit.
Artinya : “Apabila nanti anak kita lahir, hidup
ku pasti bahagia. Seperti melayang-layang
rasanya di langit”
Pernyataan diatas menunjukkan perasaan bahagia
Waisnawa jika mempunyai sang buah hati nantinya.
“
Bli dot pianak I ragane dadi pregina, apang bli nyidaang ngambar paukudane cara
pragina-pragina sane kasub pidan-pidan. Lakar ngaenang bli kanvas paling
gedene. Ia lakar dadi model bline ane paling luunga”.
Artinya : “Yang ku inginkan anak kita menjadi
seorang penari, supaya aku dapat melukis elok gemulai tubuhnya seperti penari
yang sudah terkenal lainnya. Akan ku buatkan sebuah kanvas dengan ukuran yang
besar. Dia akan menjadi modelku yang paling bagus”.
Pernyataan diatas menerangkan angan – angan Waisnawa
tentang lahirnya si buah hati nanti.
“Yan
keto pianake apang luh lekadne. Kewala tiang dot pianak muani Bli,” Sutrisni
ngemanying.
Artinya : “Kalau begitu agar perempuan lahir.
Tetapi aku inginkan seorang anak
laki-laki suamiku”.
Pernyataan diatas menerangkan bahwa perbedaan
keinginan tentang sosok buah hati yang akan lahir nantinya antara Waisnawa dengan
Sang Istri.
“Apa
seken-seken sing ada jalan len bli? Apa sing ada ane nyak ngemaang nyilih?”
“Tusing ada. Bli suba paling kema-mai.
Sing ada ngemaang. Timpal-timpal bline patuh keweh idupne”. Diapin suba
mautsaha ngirit, sairit-iritne, penghasilanne tetep kuangan dogen. Keweh ngalih
pis yan tuah ngandelang ngadep gambaran. Apabuin kurenane boya je pelukis
terkenal. Waisnawa paling. Stress, gambarane sayan soleh-soleh.
Artinya : “Apa memang benar-benar tidak ada
jalan lain suamiku? Ataukah tidak ada orang yang berbaik hati untuk memberikan
kita pinjaman?” “tidak ada, ku sudah kesana-kesini. Tidak ada yang peduli untuk
memberikan pinjaman. Teman-temanku sama sepertiku yang susah dalam hidup”.
Disamping sudah berusaha mengirit, seirit-iritnya. Tetap penghasilannya kurang.
Susah mencari uang apabila mengandalkan hasil dari menjual lukisan. Apalagi
suaminya bukan seorang pelukis terkenal. Waisnawa sangat Stress, lukisan yang
dia buat menjadi amburadul.
Pernyataan diatas menunjukkan munculnya konflik
yaitu keadaan pelik dalam pemenuhan hidup yang dihadapi Waisnawa dan Istrinya.
Dan Waisnawapun menjadi Stress akibat memikirkan masalah tersebut.
“Pipise ento sing anggon mayah rumah sakit
dogen. Pipise ento anggon idup I raga seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe.
Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin bli.”
Artinya :
“ Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah sakit saja. Uang itu untuk
biaya hidup kita seterusnya. Kapanpun keinginanmu. Buah hati bisa di buat
kembali. Berapapun akan ku sanggupi”
Pernyataan tersebut menggambarkan klimaks yang
berupa keinginan Waisnawa untuk menjual anaknya demi memenuhi biaya rumah sakit
dan pengobatan serta untuk kelangsungan hidupnya nanti.
Bulene
ento adung pesan matutur-tuturan, ajak kureranane. Keto masi ajak dokter lan
perawate. Di kenken makejang kedek pakrikik sambilanga ngusud panakne. Ngusuhin
kulit ne ane nadaksara tepukina ocem.
Artinya : Bule itu sangat akrab membicarakan
masalah perjualbelian anak dengan suaminya. Begitupula dengan dokter dan
perawat menyatakan keadaan bayi. Semua tertawa sambil membelai anaknya. Dibelai
kulitnya yang semakin lama dilihatnya semakin ucem.
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa Sutrisni melihat
seorang bule, dokter, perawat dan suaminya, asyik membicarakan tentang keadaan
sang bayi yang bakal diperjualbelikan oleh suaminya itu.
Kenken
ja apang maan selah setonde pianakne seken-seken makisid kaliman bulene ento.
Malaib Sutrisni .
Artinya : Bagaimanapun caranya agar mendapat
ide untuk membawa lari sang bayi sebelum dibawa pergi oleh Bule itu.
Pernyataan diatas menunjukkan akhir klimaks, dinama
sutrisni akan mencari cara untuk membawa lari sang anak sebelum Bule itu
membawanya.
Bagian
Akhir
Pada bagian akhir cerita ini menyatakan bahwa
Sutrisni tidak menyetujui keinginan suaminya itu. Dan pada akhirnya Sutrisnipun
berusaha untuk mencari akal/ ide untuk membawa lari sang buah hati yang sangat
dicintainya sebelum jatuh ke tangan Bule tersebut. Hal itu terdapat pada
kalimat terakhir pada cerpen yaitu :
Malaib
!!! palaibang ragane ke tongose ane paling singid !! Malaib cara prabu Basudewa
nyelamatang Kresna.
Artinya : “Lari !!! berlarilah kau ke tempat
yang paling jauh!! Berlarilah seperti Prabu
Basudewa menyelamatkan Kresna”.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu;
dan latar sosial. Jadi latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan
suasana dalam suatu cerita.
Latar Tempat
Dalam cerpen ini menunjukkan
latar tempat yang merujuk pada suatu kejadian terjadi yaitu di rumah sakit dan
rumah Waisnawa yang banyak terdapat lukisan-lukisan karyanya. Pernyataan yang
menyebutkan hal tersebut adalah :
“Gambarane
sayan soleh-soleh. Ne paling sidurina, ulian sisan cet ne telah, gambaran
legongne nungkak sing matendas. Warnan awak praginane masi abesik, makaukud
barak getih.
“Pipise
ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Bulene ento adung pesan matutur-tuturan,
ajak kureranane. Keto masi ajak dokter lan perawate”.
Artinya “ Lukisannya amburadul. Yang terakhir, dari sisa cat nya habis, lukisan
penari legong tidak berkepala, warna tubuhnya hanya memakai satu warna, seluruh
tubuhnya berwarna merah darah.
Latar waktu
Si pengarang dalam menyajikan cerpen ini tersebutlah
latar waktu dari pernyataan ketika usia kandungan Sutrisni delapan bulan dan
Sutrisnipun merasakan mual-mual pada perutnya menjelang kelahiran sang buah
hati.
“Rikala
belingane suba maumur kutus bulan, kurenane nyasan ngedegang rasa sayangne.” Artinya
“Disaat kehamilannya sudah berumur delapan bulan, suaminya semakin lama semakin
besar rasa sayangnya”.
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana
pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya atau penciptaan citra tokoh dalam cerita.
Pengarang menggambarkan :
- Tokoh Waisnawa dalam cerpen ini dengan sosok seseorang yang selalu bertindak mengutamakan kesejahteraan dirinya sendiri walaupun dengan cara apapun juga, dengan sedikit egoisme.
- Sedangkan pengarang menggambarkan karakter tokoh Sutrisni adalah sering menghayal saat dia sedang mengandung anak pertamanya, selalu meratapi nasib yang dihadapi dengan selalu berupaya untuk berfikir mencari pemecahan masalah yang dihadapinya.
Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian
gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang
pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang.
Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan
kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini
ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang
keagamaan (Hindu). Kata tersebut diambil dari Ramayana dalam cerita Hindu yaitu
Kresna, Prabu Wasudewa, Dewaki, dan Kangsa.
Selain itu pengarang
juga menggunakan majas perumpamaan dalam cerpen. Yaitu “Apa luh ngengsap suba katundung!. Suba sing akuina pianak, suba ulaha
cara cicing gudig!!”. Artinya apa kamu lupa, kamu sudah diusir.! Sudah
tidak dianggap anak, sudah diusir seperti anjing kudisan!!”
“Awakne
lemet, liu anake ngorahang nglekadang pianak care mangantung bok akatih, ne
jani ia muktiang padidi. Mula saja-saja atep bates idup matine”.
Artinya “Dirinya tidak berdaya, banyak orang mengatakan seperti melahirkan anak
bagaikan menggantungkan sehelai rambut (hidup dan matinya begitu dekat),
sekarang ia membuktikan sendiri.
Karasa
ngumbang sutrisni kaampehang negehin langit ane paling tegehe. Kewala,
makelo-kelo ada ane ngae tangkahne nek, ada ane ngengsut, mentik cara dui di
ulu hati. Makelo-kelo nyasan ngelanyingang. Sumingkin ngemanganang. Pedih,
duine ento ka ane lakar nyongket buin pidan, ngae kampid luh e uek, laut meme
macepol ulung? Artinya “Serasa melayang Sutrisni
terhembuskan melambung ke atas langit yang paling tinggi, tetapi, semakin lama
ada sesuatu yang membuat dadaku sesak, ada yang tersangkutkan, tumbuh seperti
duri di hulu hati. Lama kelamaan semakin tajam. Semakin runcing. Sakit, duri
itu akan tersangkut nantinya, membuat sayap mu robek, kemudian ibu akan jatuh ?
“Pidan
yan pianake lekad, pastika bagia idupe bli. Mirib care ngumbang ka
langit.“Saja. Tiang ngipiang pianak ragane ngelah kampid.” Artinya “Dikalau
anak kita lahir, pastinya hidup kita sangat bahagia. Seperti
melayang rasanya ke langit”.
Isi
Cerpen yang di kaji dengan menggunakan Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang
berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi karya sastra adalah
kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan
masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini
berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari
kenyataan. Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji
sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau
menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Pengarang
menuliskan ceritanya dalam bentuk sajian yang memiliki realitas atau problem yang ditemukan dalam kehidupan.
Masalah
Sosial dalam Karya Sastra sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang
menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dengan
demikian pengarang akan memperlihatkan sikap dan pandangannya tentang berbagai unsur
kehidupan manusia. Sumardjo (2001:64) mengungkapkan bahwa “sebuah karya cerpen
yang baik ibarat pengalaman hidup yang kita alami dan sulit melupakannya”.
Selanjutnya, Sumarjo mengungkapkan “Sastra menyajikan pengalaman kehidupan.
Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan
refleksi kehidupan masyarakat” (2001:89). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
karya sastra akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat.
Kejadian-kejadian
yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan. Selanjutnya, Soekanto (1982:378-395)
mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh
masyarakat, bergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan
tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada
umumnya, yaitu kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran
terhadap norma-norma masyarakat, masalah generasi muda, masalah lingkungan
hidup, dan birokrasi.
Dalam penyajian cerpen ini pengarang menuliskan
beberapa konflik yang muncul dalam sekelumit kehidupan masyarakat. Yang pada
awal cerita diceritakan suatu pernikahan yang tanpa restu dari kedua orang tua
mereka, dikarenakan Waisnawa adalah seorang pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap, dia seorang pelukis tidak laku / baru belajar / bukan seorang seniman
pula. Kemudian disusul oleh kelahiran dari anak perempuan mereka yang bersamaan
dengan terhimpitnya anggaran biaya rumah sakit dan pengobatan serta biaya untuk
kelangsungan hidup mereka, dan konflik yang terakhir adalah keinginan untuk
mendapatkan banyaknya penghasilan yang dijadikan sebagai pegangan hidup adalah
berupaya untuk memperjualbelikan anak yang baru lahir kepada seseorang yang
bersedia.
Kalimat dalam cerpen yang mendukung :
“Apang
de pesan nganten teken Made Waisnawa. Mapan gegaene sing seken. Pergaulane sing
beneh, tukang gambar sing laku , seniman masi tidong. “Apa kal amah mani”.
“Jalan
to dogen ne ada jani. Sing ada len.”
“Bli
seken-seken dot ngadep pianak iragane?”
“Pipise
ento sing anggon mayah rumah sakit dogen. Pipise ento anggon idup I raga
seterusne. Pidan kenken je keneh Luhe. Pianak dadi gae. Akuda ja kal isinin
bli.”
Artinya :
“Supaya janganlah bersedia menikah dengan Made
Waisnawa. Yang hanya punya pekerjaan yang tidak tetap. Pergaulannya tidak
benar, seniman juga bukan / lukisannya tidak laku”
“Hanya jalan itu saja sekarang. Tidak ada jalan
lain”
“Suamiku, memang dari kata hatimu ingin menjual anak
kita?”
“ Uang itu tidak hanya dipakai untuk membayar rumah
sakit saja. Uang itu untuk biaya hidup kita seterusnya. Kapanpun keinginanmu.
Buah hati bisa di buat kembali. Berapapun akan ku sanggupi”.
Dalam cerpen ini, pengarang mengambil topic dan isi
cerita menurut pengalaman dari suatu fakta dan kejadian yang muncul dalam
kehidupan berumah tangga dalam masyarakat. Di dalam cerita sangat jelas suatu
konflik yang muncul adalah suatu konflik yang bertentangan dengan nilai dan
norma di masyarakat. Berikut adalah penjelasan dari Nilai dan norma tersebut :
Pengertian Norma sosial
Apabila nilai merupakan
pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang
digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena
sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan
tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar
warga masyarakat.
Apa hubungannya antara nilai
dengan norma? Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan
untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan
mendapatkan sanksi dari masyarakat.
Di dalam masyarakat yang terus
berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal
juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku
dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan
telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam
masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan.
Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali
memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak
menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai
kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian
normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model
rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin
sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang
sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern)
adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.
Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
Berbagai macam norma dalam
masyarakat
Dilihat dari tingkat sanksi atau
kekuatan mengikatnya terdapat:
- Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak sopan.
- Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
- Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst.
- Adat (customs). Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
- Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-norma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang tegas.
Jika
dilihat dari isi cerita “Malaib Sutrini ! Malaib” suatu potret konflik
kehidupan yang dialami bertentangan dengan tingkat sanksi terkait kekuatan yang
mengikatnya terhadap tata kelakuan (mores). Dimana perbuatan yang bertujuan
untuk memperjualbelikan anak adalah suatu perbuatan jahat meskipun yang
melakukan prihal tersebut adalah orang tua kandung dari anak yang bersangkutan.
Sebab prilaku yang demikian adalah tindakan melanggar hukum (law) yang
bertentangan dengan HAM
( Hak Azasi Manusia). Selain hal tersebut, tindakan memperjualbelikan anak adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma filsafat / agama. Terutama dalam agama hindu dalam tingkatan “Grahastha” masa berumah tangga yang menurut tatwa harus dibina dengan baik dan penuh suka duka kehidupan dengan kehadiran sang anak yang suputra / suputri sehingga keharmonisan rumah tangga itu tercipta disertai oleh rasa cinta kasih untuk membesarkan si buah hati yang merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
( Hak Azasi Manusia). Selain hal tersebut, tindakan memperjualbelikan anak adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma filsafat / agama. Terutama dalam agama hindu dalam tingkatan “Grahastha” masa berumah tangga yang menurut tatwa harus dibina dengan baik dan penuh suka duka kehidupan dengan kehadiran sang anak yang suputra / suputri sehingga keharmonisan rumah tangga itu tercipta disertai oleh rasa cinta kasih untuk membesarkan si buah hati yang merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
PENUTUP
Demikianlah
analisis cerpen yang dapat saya paparkan, semoga dengan terselesainya analisis
ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk selalu bersifat peka terhadap
suatu karya sastra yang sebagai pedoman dan acuan untuk melakukan analisa
selanjutnya terhadap jenis karya sastra seperti cerpen, cergam, novel, komik
dan lainnya serta suatu prihal yang merujuk pada pengalaman kehidupan baik itu
dalam masyarakat. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap Dosen
pembimbing atas terselesainya analisis cerpen saya yang jadi tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Segenap kritik dan saran yang membangun sangat perlu
bagi saya, demi penyempurnaan analisis yang saya buat dala cerpen “ Malaib Sutrisni !! Malaib” karya Komang
Adnyana. Akhir kata saya ucapkan. Terima Kasih.
Ken versi bahasa bali nya
ReplyDelete